Mendapatkan lailatul qadar adalah harapan
semua kaum muslimin yang berpuasa pada bulan ramadhan. Ia menjadi incaran bagi
mereka yang mengharapakan satu malam mulia, di mana lebih baik dari seribu
bulan. Malam yang tidak bisa ditemukan pada hari-hari lainnya kecuali pada
Bulan Ramadhan. Ini adalah sebuah keistimewwaan bagi kaum muslimin dari Allah,
atas puasa yang mereka lakukan selama sebulan.
Malam lailatul qadar sebagai malam yang mulia
dan agung, hanya diberikan kepada mereka yang melakukan ibadah kepada Allah
pada malam sepuluh terakhir dari bulan Ramadhan. Ibadah yang dilakukan adalah
ibadah shalat, zikir, tilawatil qur’an, dan sebagainya yang termasuk
amalan-amalan taqarrub kepada Allah pada malam harinya. Dan di siang harinya
dipenuhi dengan kebaikan-kebaikan untuk menambah pahala.
Mendapatkan lailatul qadar adalah kewenangan
Allah dengan usaha dan ikhtiar dari seorang hamba untuk menghidupkan malam
dengan ibadah. Tidak hanya sekedar menunggu dan mengakali Allah dengan
beribadah pada malam-malam tertentu agar mendapatkan lailatul qadar. Memang
memalalui Rasulullah telah diberitakan beberapa cirri dari turunya lailatul
qadar, tapi yang dapat merasakan adalah orang-orang yang beriman dan ahli
ibadah, tidak bagi mereka yang terlelap dan terlena dengan tidur panjangnya,
atau mimpi yang tidak berkesudahan. Tanda-tanda yang diberitakan oleh
Rasulullah adalah tanda-tanda yang tidak bisa ditunggu begitu saja, tapi ia
menyatu dengan keadaan ibadah yang dilakukan oleh seseorang.
Tapi beberapa orang kemudian terjebak pada kesalahapahaman terhadap
tanda-tanda lailatul qadar dengan persepsi yang mereka
bayangkan. Sehingga membuat mereka terjebak pada hal-hal mitos dan tidak masuk
akal, padahal tanda-tanda yang digambarkan oleh Rasulullah adalah tanda-tanda
ketenangan pada Alam dan manusia sendiri. Bahkan sebagian dari mereka berusaha
untuk menunggu setiap malamnya tanda-tanda yang dipercayai dan pada saat
menemukannya, ia akan berdo’a kepada Allah agar apa yang dicita-citakan dapat
tercapai.
Beberapa kepercayaan masyarakat akan turunya lailatul
qadaradalah semua air membeku. Pada malam itu, orang-orang yang diberikan
kemulian dan hidayah akan melihat air di muka bumi akan membeku untuk sementara
selama turunnya lailatul qadar. Terutama air-air yang dipergunakan kaum
muslimin untuk berwudhu’, sehingga mereka yang menemukan malam lailatul
qadar adalah mereka yang bangun untuk beribadah dan mengambil air
wudhu’ dan menemukan air tersebut dalam keadaan beku, tapi tidak seperti es.
Kepercayaan ini hampir dipercayai oleh sebagian masyarakat, dan membuat mereka
berlomba-lomba untuk menunggu dan melihat pada setiap malam dari sepuluh
terakhir ramadhan tempat wudhu’ mereka. Katanya, ada yang menemukan dan ada
yang sama sekali tidak pernah menemukan. Tapi menurut akal sehat tentu tidak
akan mungkin. Namun jika yang dimaksudkan adalah ketenangan dan tidak ada riak
suara air pada malam hari itu, masih bisa mendekati kebenaran, tapi sampai
membeku tentu tidak masuk akal. Akan tetapi kepercayaan sudah terlanjur
mendarah daging, jadi mereka tetap mempercayai, di antara sebagian tanda
turunya lailatul qadar adalah membekunya air pada malam itu.
Kepercayaan lain yaitu semua pepohonan pada malam turunyalailatul
qadar bersujud kepada Allah sebagaimana sujudnya manusia. Mereka
mempercayai bahwa pohon-pohon tunduk dan tidak kuat menahan datangnya lailatul
qadar. Mereka tidak sanggup untuk menengadah ke atas langit, karena malam
kemuliaan turun, tidak ada yang sanggup menahan datangnya. Kepercayaan tersebut
juga tidak sedikit yang meyakini, walaupun tidak menemukannya selama ini.
Pepohonan bisa saja terliaht sujud karena ada hembusan angin kencang, tapi
tentu pepohonan yang kecil, tidak bagi pepohonan besar. Jika isyarat pepohonan
yang tunduk dengan hembusan angin, maka sebagaimana khabar dari Nabi bahwa pada
malam datangnya lailatul qadar, angin tidak berhembus kencang, hanya seadanya
untuk menjejukkan suasana. Sangat tidak mungkin dengan angin yang tidak
berhembus kemudian pepohonan bersujud. Bisa dikatakan tidak masuk akal
pepohonan bisa bersujud sampai 190 derajat kecuali pepohonan tersebut mempunyai
asal yang bengkok.
Begitu juga dengan kepercayaan semua binatang lebih khusus
anjing yang selalu melolong di malam hari, pada malam itu tidak terdengar,
semua sepi dan bisu tidak sanggup mengeluarkan suara dengan turunnya lailatul
qadar. Ciri ini bisa saja diterima, tapi bisa saja ditolak. Beberapa daerah
dengan banyak anjing, maka hampir setiap malang akan terdengar lolongan anjing.
Bagi wilayah yang tidak ada anjing atau beberapa saja, tidak akan pernah
mendengarkan lolongan anjing walaupun di luar Bulan Ramadhan. Jadi, tidak
adanya lolongan anjing bukan menjadi patokan bahwa pada malam itu turun
lailatul qadar. Atau suara ayam tidak berkokok walaupun pagi hari menyapa.
Tidak ada suara kodok yang mengelaurkan suaranya di malam hari. Dan bahkan
jangkrik-jangkrik yang biasa berbunyi di sudut-sudut persawahan tidak terdengar
suaranya, karena menunggu datangnya dan turunnya lailatul qadar.
Dan beberapa ciri-ciri yang sebenarnya tidak terdapat khabar atau berita dari Nabi sallahu ‘alihi wasallam. Namun masyarakat dengan kepercayaan yang kuat dari nenek moyang terdahulu, terus mempercayai dan meyakini serta berusaha untuk mendapatkannya dengan cara menunggu tanpa melakukan ibadah kepada Allah subhanahu wata’ala. Perlu diingat bahwa mereka yang mendapatkan lailatul qadar adalah mereka yang melakukan ibadah di masjid, tidak mereka yang menunggu di pinggir sungai atau menunggu tanda-tanda yang diharapkan.
Dan beberapa ciri-ciri yang sebenarnya tidak terdapat khabar atau berita dari Nabi sallahu ‘alihi wasallam. Namun masyarakat dengan kepercayaan yang kuat dari nenek moyang terdahulu, terus mempercayai dan meyakini serta berusaha untuk mendapatkannya dengan cara menunggu tanpa melakukan ibadah kepada Allah subhanahu wata’ala. Perlu diingat bahwa mereka yang mendapatkan lailatul qadar adalah mereka yang melakukan ibadah di masjid, tidak mereka yang menunggu di pinggir sungai atau menunggu tanda-tanda yang diharapkan.
Pemahaman yang benar harus diberikan kepada masyarakat, tidak
hanya sekadar untuk mencari lailatul qadar saja, tapi
memperbaiki kualitas ibadah. Kalau kualitas ibadah sudah dapat diperbaiki, maka
dengan ibadah tersebut akan membimbingnya untuk mendapatkan lailatul
qadar dengan izin Allah subhanahu wata’ala. Semoga masyarakat kita
semakin lebih cerdas dalam beragama dan tidak mempercayai hal-hal yang
mustahild an tidak masuk akal, terutama masalah lailatul qadar.
Wallahu ‘a’alam bi al-sawab.
Sumber : http://www.ibnushobah.web.id
0 Komentar